Minggu, 01 November 2015

Psikologi Manajemen: Teori-Teori Leadership II

3. Modern Choice Approach to Participation

Mitch Mc Crimmon (2007) menulis bahwa menjadi pemimpin yang partisipatif berarti melibatkan anggota tim dalam pembuatan keputusan. Hal ini terutama penting manakala pemikiran kreatif diperlukan untuk memecahkan masalah yang kompleks atau membuat keputusan yang akan berdampak pada anggota tim. Sedangkan Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama.

Sarros dan Butchatsky (1996), “leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good”. Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), “leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance”.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:

1) Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain atau mempengaruhi orang lain yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin dan ikut berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi atau perusahaan. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.

2) Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:

  • Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
  • Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
  • Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
  • Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
  • Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.

Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.

3) Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.

Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing"). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.


4. Contigency Theory Fiedler

      Model kontongensi dari kepemimpinan yg efektif dikembangkan oleh fiedler(1967). Menurut model ini, maka “the performance of the group is contingent upon both the motivational system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness“ (fiedler,1974). Dengan kata lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh system motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.

      Tanggapan-tanggapan terhadap skala tersebut (biasanya 18-25 total) yang disimpulkan dan rata-rata: skor LPC tinggi menunjukkan bahwa pemimpin memiliki orientasi hubungan antar manusia, sedangkan skor LPC rendah menunjukkan orientasi tugas. Fiedler mengasumsikan bahwa setiap orang yang paling tidak disukai rekan kerja di Kenyataannya adalah rata-rata sekitar sama-sama tidak menyenangkan. Tetapi orang-orang yang memang hubungan termotivasi, cenderung untuk menggambarkan paling tidak disukai rekan kerja mereka dalam cara yang lebih positif, misalnya, lebih menyenangkan dan lebih efisien. Oleh karena itu, mereka menerima nilai LPC tinggi. Tugas orang-orang yang termotivasi, di sisi lain, cenderung untuk menilai paling tidak disukai rekan kerja mereka dalam cara yang lebih negatif. Oleh karena itu, mereka menerima skor LPC rendah. Jadi, rekan kerja yang dipilih yang terkecil (LPC) skala ini sebenarnya tidak tentang pekerja pilihan yang paling tidak sama sekali, sebaliknya, ini adalah tentang orang yang mengambil tes; ini adalah tentang motivasi orang itu tipe. Ini sangat, karena, orang yang paling tidak disukai menilai rekan kerja mereka dalam cahaya yang relatif baik pada skala ini memperoleh kepuasan atas hubungan interpersonal, dan mereka yang menilai rekan kerja dalam waktu yang relatif ringan tidak menguntungkan memperoleh kepuasan keluar dari tugas sukses kinerja. Metode ini mengungkapkan suatu reaksi emosional individu kepada orang-orang mereka tidak dapat bekerja dengan. Pengkritik menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu akurat pengukuran efektivitas kepemimpinan. Situasi yang menguntungkan (situational favorableness), yaitu sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi situasi tertentu, ditentukan oleh tiga variable situasi:

1) Hubungan pemimpin-anggota (leader member relations
       Hubungan pribadi pemimpin dengan anggota kelompoknya.

2) Struktur tugas (task structure)
       Derajat struktur dari tugas yang diberikan kepada kelompok untuk dikerjakan.

3) Kekuasan kedudukan (position power).
        Kekuasaan dan kewewenangan yg terberikan dari kedudukannya.

Ketika ada seorang pemimpin yang baik hubungan anggota, tugas yang sangat terstruktur, dan posisi pemimpin yang tinggi kekuasaan, situasi ini dianggap sebagai "situasi yang menguntungkan." Fiedler menemukan bahwa para pemimpin LPC rendah lebih efektif dalam sangat menguntungkan atau situasi yang tidak menguntungkan, sedangkan para pemimpin LPC tinggi performa terbaik dalam situasi dengan tingkat favourability.

Karena kepribadian relatif stabil, model kontingensi menunjukkan bahwa meningkatkan efektivitas memerlukan mengubah situasi agar sesuai dengan pemimpin. Ini disebut "pekerjaan rekayasa." Organisasi atau pemimpin dapat meningkatkan atau menurunkan posisi tugas struktur dan kekuasaan, juga pelatihan dan pengembangan kelompok dapat meningkatkan hubungan pemimpin-anggota. Dalam buku 1976 Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan: The Leader Match Konsep Fiedler (dengan Martin Chemers dan Linda Mahar) mondar-mandir menawarkan diri program pelatihan kepemimpinan yang dirancang untuk membantu para pemimpin favourableness mengubah situasi, atau situasional kendali.

1) Tugas kepemimpinan berorientasi akan dianjurkan dalam bencana alam, seperti banjir atau api. Dalam situasi yang tidak menentu pemimpin-hubungan anggota biasanya miskin, tugas terstruktur, dan kekuasaan posisi lemah. Orang yang muncul sebagai pemimpin untuk mengarahkan aktivitas kelompok biasanya tidak tahu bawahan secara pribadi. Tugas-pemimpin yang berorientasi pada hal-hal yang dilakukan akan terbukti menjadi yang paling berhasil. Jika pemimpin adalah perhatian (berorientasi pada hubungan), mereka mungkin membuang begitu banyak waktu dalam bencana, bahwa segala sesuatu keluar dari kehidupan DNS dan hilang.

2) Pekerja kerah biru pada umumnya ingin tahu persis apa yang seharusnya mereka lakukan. Oleh karena itu, lingkungan kerja mereka biasanya sangat terstruktur. Posisi pemimpin kekuasaan yang kuat jika punggung manajemen keputusan mereka. Akhirnya, meskipun pemimpin mungkin tidak berorientasi pada hubungan, hubungan pemimpin-anggota mungkin sangat kuat jika mereka dapat memperoleh promosi dan kenaikan gaji untuk bawahan. Dalam situasi ini tugas-gaya kepemimpinan berorientasi lebih disukai di atas (perhatian) gaya berorientasi pada hubungan.

3) Perhatian (berorientasi pada hubungan) gaya kepemimpinan dapat tepat dalam lingkungan di mana situasi ini cukup menguntungkan atau tertentu.

4) Para peneliti sering menemukan bahwa teori kontingensi Fiedler yang jatuh pada fleksibilitas pendek.

5) Mereka juga menyadari bahwa nilai LPC dapat gagal untuk mencerminkan ciri-ciri kepribadian yang seharusnya mereka berpikir.

6) Teori kontingensi Fiedler ini telah menarik kritik karena menyiratkan bahwa satu-satunya alternatif untuk ketidaksesuaian dapat diubah orientasi pemimpin dan situasi yang tidak menguntungkan sedang mengubah pemimpin.

7)  Validitas model juga telah diperdebatkan, meskipun banyak mendukung tes (Bass 1990).

8) Kritik lain menyangkut metodologi mengukur gaya kepemimpinan melalui LPC inventarisasi dan sifat dari bukti-bukti pendukung. Fiedler dan rekan-rekannya telah menyediakan dekade penelitian untuk mendukung dan memperbaiki teori kontingensi.


Untuk Fiedler, stres adalah penentu utama efektivitas pemimpin (Fiedler dan Garcia 1987; Fiedler et al. 1994), dan sebuah pembedaan dibuat antara stres yang terkait dengan pemimpin atasan, dan stres yang berkaitan dengan bawahan atau situasi itu sendiri. Dalam situasi stres, pemimpin diam di atas stres hubungan dengan orang lain dan tidak dapat fokus kemampuan intelektual mereka dalam pekerjaan. Dengan demikian, intelijen lebih efektif dan lebih sering digunakan dalam situasi bebas stres. Fiedler telah menemukan bahwa pengalaman merusak kinerja dalam kondisi stres rendah tetapi memberikan kontribusi untuk performa di bawah kondisi stres tinggi. Seperti halnya dengan faktor-faktor situasional lain, untuk situasi stres Fiedler merekomendasikan atau teknik mengubah situasi kepemimpinan untuk memanfaatkan kekuatan pemimpin. Walaupun semua kritik, teori kontingensi Fiedler ini merupakan teori penting karena membentuk suatu perspektif baru untuk studi kepemimpinan. Banyak pendekatan setelah teori fiedler telah mengadopsi perspektif kontingensi.

Fred Fiedler's situasional kontingensi teori menyatakan bahwa efektivitas kelompok tergantung pada pertandingan yang tepat antara gaya pemimpin (mengukur suatu sifat dasarnya) dan tuntutan situasi. Fiedler mengendalikan situasi mempertimbangkan sejauh mana seorang pemimpin dapat menentukan apa yang kelompok mereka akan lakukan untuk menjadi faktor kontingensi utama dalam menentukan efektivitas perilaku pemimpin.

Lebih lanjut teori Fiedler berpendapat bahwa kebanyakan situasi akan memiliki tiga aspek yang hirarkis struktur akan peran pemimpin. Aspek pertama atmosfer - kepercayaan, dan kesetiaan kelompok merasa terhadap pemimpin. Variabel kedua adalah ambiguitas atau kejelasan struktur tugas kelompok. Terakhir yang melekat otoritas atau kekuasaan pemimpin memainkan peran penting dalam kinerja kelompok.

Teori Keputusan Normatif, kadang-kadang disebut Teori Permainan, usaha untuk model proses menuju keputusan bisnis yang optimal. Pengambilan keputusan normatif jarang terjadi di dunia nyata, di mana rasionalitas sempurna tidak sesuai dengan perilaku aktual. Pendekatan yang lebih deskriptif tentang bagaimana orang benar-benar membuat keputusan yang dikenal sebagai Analisis Keputusan. Teoretisi studi kerjasama dengan para pemimpin buruh, dan di antara satu sama lain, dan seberapa dekat keputusan akhir berkorelasi dengan normatif atau keputusan yang optimal.


5. Path Goal Teory

Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.

Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).

Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang, membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).

Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).

Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.

Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.

Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan tentang pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan kepada bawahannya. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
  1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
  2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.


Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003).

a. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)

      Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.

b. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)

   Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.

c. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)

       Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.

d. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)


    Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.


Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.

Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).

1) Karakteristik Bawahan

Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:

a. Letak Kendali (Locus of Control)

Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.

b. Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)

Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.

c. Kemampuan (Abilities)

Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.

2) Karakteristik Lingkungan pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:

a. Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.

b. Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.

Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:

a. Struktur Tugas

Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.

b. Wewenang Formal

Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi.

c. Kelompok Kerja

Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.


Kesimpulan

Mitch Mc Crimmon (2007) menulis bahwa menjadi pemimpin yang partisipatif berarti melibatkan anggota tim dalam pembuatan keputusan. Sarros dan Butchatsky (1996), "kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi."

Lalu situasi yang menguntungkan (situational favorableness), yaitu sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi situasi tertentu, ditentukan oleh tiga variable situasi:

1) Hubungan pemimpin-anggota (leader member relations
       Hubungan pribadi pemimpin dengan anggota kelompoknya.

2) Struktur tugas (task structure)
       Derajat struktur dari tugas yang diberikan kepada kelompok untuk dikerjakan.

3) Kekuasan kedudukan (position power).
        Kekuasaan dan kewewenangan yg terberikan dari kedudukannya.



SOURCE

Munandar, Ashar Sunyoto. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta. Universitas Indonesia.

Vroom, VH dan Yetton, PW. 1973. Kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Pittsburg: University of Pittsburg.

Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasarIlmuPolitik. Yogyakarta : FISE UNY.

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net